Jalan kami saat ini tak lagi sama. Jalan setapak yang kami pijaki menunjukan cabangnya. Memilih tujuan dengan hati nurani. Ya Allah… hidup ini sungguh menyesakkan bila mengharuskan adanya pilihan. Tidak bisakah kami memilih semua yang kami mau?
Air menetes, memilih kemana ia akan bermuara. Api menyebar, memilih apa yang akan ia lahap. Angin berhembus, memilih siapa yang akan ia sentuh. Kami terputus, memilih jalan kita masing-masing. Menerka nasib, mengharapkan keberuntungan, dan menanti imbalan.
Terus berlari, sampai keringat tak lagi menetes diterpa semilir angin. Aku mengadah. Hitam tak bergemuruh tapi berkelip. Jalanku sudah pincang sekarang. Aku kehilangan uluran tangan mereka.
Sunyi. –Hei, kami bertemu lagi. Dengan paras khas yang semakin bertumbuh. Bersama berkhayal memiliki tujuan yang sama tanpa terpisah jarak, ruang, dan waktu. Hati nurani yang tepusat pada satu antena. Itu yang kami mau, dan Tuhan mengabulkan. Aku merasakan dekapannya yang erat, tetapi hanya sepersekian detik saja. Aku ingin terus merasakan kehangatan dekapannya tetap berada di sekujur tubuhku. Tapi untuk permohonanku yang satu ini, Ia menghiraukannya. Ia terus melonggarkan dekapannya, terus… hingga –Aku baru menyadari, aku bermimpi dalam mimpi.
Menatap nanar kecerobohanku dalam sendu. Begitu banyak kesalahan-kesalahan yang membuat aku mendapatkan balasan sekejam ini. Mengadahkan kepala, berjalan lurus, terjatuh, dan sekarang aku tersungkur berserah diri. Menyongsong masa depan yang sudah aku mulai. Entah kapan, kami bisa berhenti berlari. Dengan membawa kesuksesan, kami bertemu di persimpangan, atau, sudahkan Allah menyiapkan sesosok pelita baru? Yang bisa menjaga dan aku jaga tanpa adanya kemunafikkan.
S